Sabtu, 04 Oktober 2014

Tentang Boss : Gertakan Sambal

Bukan Boss gue namanya kalau setiap hari dia gak bikin ulah. Ada aja hal yang selalu dia komentarin dan dia hujat tiap harinya. Mulai dari tanya keberadaan karyawan yang sedang keluar dan setelah itu dia akan berkomentar jelek tentang karyawan itu, sampai menjelekan salah satu dari jajaran management yang kalau balik kantor selalu on time.

"Salah siapa lo berangkat siang mulu!" Dalam hati gue menyalahkan si boss.

Gilanya lagi, bukan cuma masalah "talking behind the wall" yang menjadi penyakit si boss. Ada penyakit lain yang bikin gue dan seisi kantor lebih risih lagi. Membayangkan apa yang sebenarnya dia bicarakan tentang gue di belakang, kini bikin gue makin gak yakin kalo Boss gue itu adalah contoh panutan.

Suatu hari...

Kedatangannya seperti biasa di siang hari yang sudah melewati jam makan siang, seolah menyebarkan aura negatif yang sangat mencekam.

"Ano mana?" Tanyanya dengan nada tenor yang lebih mirip dengan kucing yang sedang mengerang akibat terjepit pintu.
Ano adalah seorang teknisi yang hari ini ditugaskan untuk membantu salah satu proyek pengerjaan kantor di bilangan Mayestik, Jakarta Selatan.

"Belum datang pak." Ujar Badar seorang sales baru yang dipekerjakan sebagai PM karena kantor gue kali ini kekurangan Project Manager untuk berbagai project pemerintahan yang sedang berjalan.

"Belum datang? Gimana sih tuh anak. Bisa kerja gak? Maukerja gak kalo gak becus pecat aja!" Seperti biasanya, dia berkoar sambil berlalu menuju ruangannya.

Gue gak heran kenapa dia tampak semarah itu, karena hari sebelumnya Ano pernah "menantang" si boss yang sok tahu itu dengan mendebat masalah proyek.

Hari sebelumnya...

"No! Ngapain kamu masih di sisni?" Tanyanya dengan suara keras seolah ingin semua gedung tahu dia adalah tipe atasan yang dia sendiri menyebutnya "tegas".
"Nunggu buat material pak." Jawab Ano santai.
"Material apa? Kan udah siap semua di sana! Berangkat aja." Sanggahnya sok tahu.
"Material mana yang siap?" Kali ini sepertinya Ano sudah jengah dengan nada suara tinggi si boss, sama seperti gue.
"Aaah udalah susah tau lah!" Yak, itulah tanda dari kalahnya si boss saat berdebat.

Kembalike hari ini...

Sekitar jam 4 sore sang Komisaris datang untuk memeriksa keadaan kantor. Entah apa yang dia bicarakan dengan si boss hingga saat keluar Sang Komisaris berkoar.

"Ano , mana? Suruh dia ke sini saya tunggu sampai jam berapapun." Ujarnya geram. Gue, Vita dan Melly saling bertatapan mempertanyakan ada apa sebenarnya yang terjadi.

Saat gue akan pulang Ano tak kunjung datang. Akhirnya gue pulang tanpa tahu apa yng terjadi berikutnya.

Hari berikutnya...

Pagi yang tenang berubah menjadi kelam. Kali ini si boss secara tiba - tiba datang sedikit pagi, sekitar jam 10.
"Ano mana?" Lagi - lagi dengan volume suara yang dengan sengaja dinaikkan.
"Belum datang." Ujar Melly tanpa memalingkan wajahnya dari komputer.
"Jam segini belum datang? Jam berapa ini? Ini udah siang loh!" Dengan sok.
"Elo apa kabar?" Kata - kata itu terkunci di tenggorokan gue. Vita hanya melirik gue dan memutarkan bola matanya tanda jengah dengan ucapan Si Boss.
"Emang dia pikir di siapa? Saya pecat juga dia hari ini. Kalo dia datang suruh menghadap saya!" Entah dibuat - buat atau memang jengah.

Sekitar jam sebelas, Ano datang dengan muka datar seperti biasanya. Bagaimana bisa, hebat juga Ano ini, meski menurut Ibu Nurma yang merupakan Admin dan juga HRD itu, bahwa gaji Ano ditahan oleh Si Boss ,tapi dia masih tenang, atau lebih tepatnya datar.

"No dicariin Si Boss noh." Ujar Ibu Nurma. Tanpa berkata apapun Ano berlalu dan menuju ruangan Si Boss.
"Ada apa?" Tanpa sapaan tanpa basa - basi Ano langsung bertanya. Saat itu gue gak dengar ada jawaban dari Si Boss, dia hanya melangkah keluar dari ruangannya dan berdiri menghadap Ano di depan pintu ruangannya.
"Kamu hari ini ke proyek kan?" Tanya Si Boss tapi nadanya terdengar begitu biasa, tidak seperti orang yang sedang marah dan mau memecat karyawannya.
"Iya." Jawab Ano singkat.
"Oh ya sudah, tolong segera diselesaikan ya No." Ujarnya sambil berlaru ke luar kantor, tubuhnya hilang entah ke mana.

Gue cuma bisa mengernyitkan dahi mendapati apa yang baru saja gue lihat. Gue bergantian saling pandang dengan Vita yang mencibir jengah dengan nyiyiran di bibirnya. Seriously? Dia seperti mempecundangi dirinya barusan.