Selasa, 26 Mei 2015

Munara : Jejak Kaki Seorang Amatir

Saya adalah seorang amatir yang ingin menjelajahi keindahan alam. Mimpi saya satu - satunya sejak lama adalah menjadi seorang Manusia yang benar - benar Hidup.

Sejak lama saya ingin sekali mendapatkan pelajaran dari alam. Mungkin sebenarnya alam sudah memberi saya banyak pelajaran dalam kehidupan sehari - hari, namun coba katakan pada saya ketika anda tinggal di Jakarta atau mungkin mendengar dan membaca kata Jakarta, apa yang terlintas? Jujur kalau saya banyak yang terlintas kecuali satu, ALAM. Alam yang saya maksud benar - benar alam yang masih alami.

Gunung, Laut, Pantai, Air Terjun, Sungai yang bersih. Itulah yang saya dambakan. Untuk laut mungkin saya sudah banyak mencicipi asinnya air laut di beberapa tempat. Ada satu keinginan terdalam saya yang sejak lama belum mampu saya wujudkan. Mendaki Gunung. Bukan tidak mau memulai, namun saya terlalu takut memulai dan tahu diri. Saya dulu seorang pemalas yang jauh dari kata olah raga, seorang yang cepat menyerah dan seorang yang penakut. Namun, akhirnya keinginan tidak boleh hanya menjadi keinginan, itu harus diwujudkan. Saya tidak mengijinkan diri saya untuk berkutat saja dengan obsesi, tapi saya harus menjalani dan mewujudkan obsesi itu.

Suatu Pagi.

Ketika akhirnya saya dan prtner memutuskan untuk mencicipi Gunung atau mungkin lebih tepat disebut sebagai Bukit Bongkok di Purwakarta, Saya yang kebetulan dalam program salah satu diet yang cukup terkenal mulai mengukuhkan jadwal untuk rutin berolah raga. Tepatnya sudah berjalan 2 Minggu hingga akhirnya rencana itu gagal karena berbagai hal, namun kami tidak lantas berhenti begitu saja, kami berdua memutuskan untuk melakukan pendakian pertama kami di Bukit Munara.

Perjalanan pagi itu kami melewati Akses Parung – Ciseeng – Rumpin – Situs Gunung Munara. Cukup mudah dan juga cukup memakan waktu. Namun karena ini adalah salah satu cara untuk mulai mewujudkan impian kami berdua, kami tetap menikmatinya.

Minggu Pagi di Munara

Bagi pemula seperti saya, sudah jelas perjalanan yang kami lalui ini tidaklah mudah meski saya sudah menjalani rutinitas untuk memperbaiki fisik saya. Namun jika terlalu dini saya harus menyerah, maka bagaimana nasib impian dan obsesi saya?

Munara 1
Mulai Melangkah

Munara 2
Track

Munara 3
Matahari Mulai Terbit

Munara 4
Menanjak

Munara 5
Mentari beranjak ke singgasana

Munara 6
Masih Menikmati Sang Surya

Munara 7
Berhenti Sejenak
Acrophobia : Melawan Rasa Tkut di Puncak Situs Batu Belah

Bila rasa lelah bukan hambatan bagi saya, maka ada satu hambatan besar yang benar - benar memukul saya dan mengkerdilkan saya saat itu. Rasa takut saya akan ketinggian seolah - olah mempecundangi saya dengan telak. Ketika sampai di situs Batu Belah, saya tidak bisa menolak kedatangan rasa takut yang sejak lama saya miliki. Terlebih saat saya harus memaksa diri untuk memanjat tebing situs Batu Belah. Namun, siapa lagi yang bisa mengalahkan rasa takut saya kalau bukan saya sendiri?

Munara 8
Tebing Batu Landai

Muanara 9
Di situs Batu Belah

Munara 10
Rock Climbing

Munara 11
Dipuncak Batu Belah

Munara 12
Terbayar

Munara 13
Melawan Rasa Takut

Munara 14
Di seberang Curamnya Belahan Situs

Munara 15
Mengabadikan
Menyerah?

Setelah turun, badan saya masih gemetar. Saya memang puas atas apa yang sudah saya dapatkan, bahkan mungkin terlalu cepat untuk merasa puas, hingga membuat kami memutuskan terlalu cepat untuk menghentikan perjalanan. Kami hanya sempat mampir ke Situs Goa Soekarno. Memang selain karena saya yang mengalai guncangan hebat, juga karena faktor pengunjung yang begitu ramai  dan waktu yang sudah sepertinya tidak memungkinkan jika kami perhitungkan membuat kami berpikir ulang untuk melanjutkan perjalanan atau tidak.

Munara 16
Di dekat Situs Goa Soekarno

Munara 17
Partner in Crime
Setelah akhirnya berpikir cukup lama dan menghasilkan keputusan untuk tidak melanjutkan perjalanan sampai puncak yang entah sampai sekarang kami masih belum tahu di mana posisi puncak Munara. Kami hanya perlu memaknai perjalanan ini dan meyakinkan bahwa titik awal yang kami jalani ini, tidak akan menjadi akhir dari perjalanan yang sudah kami targetkan hingga kami bisa mencapai impian untuk mencicipi puncak - puncak tanah yang ada.

Mungkin di sini kami menyerah, tapi inilah pelajaran. Mungkin kami hanya mencapai titik terendah dari sebuah pendakian namun bagi kami ini adalah landasan yang cukup berharga. Jika nanti kami berhasil mencapai puncak tanah yang lebih tinggi di bumi ini, maka saya akan teringat puncak terendah yang belum saya cicipi. Bukankah ketika kita berada di puncak kehidupan, kita tak boleh melupakan saat kita berada di bawah dalam rantai kehidupan, tidak boleh juga menjadi angkuh dan memandang rendah orang yang berada di bawah kita. Inilah pelajaran, bahwa setinggi apapun kita nantinya, kita akan tetap menapakan kaki di tanah yang tak akan pernah bisa lebih tinggi bahkan menyentuh langit.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar