Selasa, 12 April 2016

Gunung Pancar (Ke dua kalinya) : Menikmati sajian senyum dari kaki kaki mungil.


Masih Cukup Tebal

Kali kedua saya ke sini di pagi hari dan semoat diguyur hujan yang cukup deras di tengah perjalanan.
Namun saat tiba, akhirnya pengorbanan terbayar dengan cukup impas saat melihat masih ada kabut yang cukup tebal berjejal memenuhi atmosfer di sela - sela jajaran pohon - pohon pinus.





Saat Sang Mentari mulai tinggi, pendatang mulai datang satu persatu. Namun ada yang selalu menarik perhatian saya saat pengunjung mulai memadati area tempat wisata ini. Yaitu kehadiran anak - anak sekitar yang menawarkan sewa tikar. Dan terkadang mereka asyik bermain sambil menunggu kedatangan pangunjung.

Playground
Dan beruntung hari ini saya cukup banyak menyaksikan senyum riang di setiap langkah kaki kaki kecil itu.




Entah kenapa saya selalu tenggelam dalam dunia itu setiap kali saya melihat gelak tawa dan keriangan anak - anak kecil seperti mereka.









Saat anak - anak itu kembali pada bisnis mereka, akhirnya saya memutuskan untuk sekedar berkeliling sesaat lalu pulang.



Mari Pulang.... Sampai Jumpa lagi.



Danau Dora, Ecopark LIPI


Saya tidak punya informasi lebih lanjut yang akan saya tulis di Blog saya tentang Danau Dora Ecopark LIPI, karena memang saya tidak tau lebih jauh tentang seluk beluk Danau Buatan satu ini, atau saya juga masih ragu ini sebenarnya Danau atau Waduk atau Situ ataukah sebenarnya ini Kolam. Tapi yang jelas tempat ini cukup bagus untuk digunakan sebagai tempat sekedar kongkow.

Jadi tanpa basa- basi lagi, lebih baik saya langsung pasang fotonya saja (tapi kebanyakan foto narsis saya) Hahaha.




Tapi setidaknya dapat dijadikan tambahan refrensi tempat kongkow anda. Karena untuk masuk ke sini anda tidak perlu merogoh kantong terlalu dalam. Cukup bayar parkir saja, anda sudah bisa menikmati area ini.




Lokasi : Belakang Komlek Lipi, Cibinong Bogor.

Danau Dora

Leuwi Hejo : Obsesi Foto Underwater


Perjalanan kali ini tidak di dasari rasa penasaran atas lokasi yang akan saya tuju, melainkan didasarkan obsesi untuk Mencoba mengabadikan foto Underwater. Dan satu - satunya pilihan di akhir minggu 10 April 2016 kemarin jatuh pada Curug Leuwi Hejo yang beberapa minggu lalu ditutup karena ada kejadian pilu yang sebelumnya terjadi.


Tapi saya, tak bermaksud membahas kejadian itu, yang sudah terjadi biarlah terjadi dan jadikanlah itu sebagai memori dan pelajaran serta jangan lupa terus panjatkan doa untuk keselamat diri sendiri dan orang lain serta doa atas pengampunan tuhan untuk mereka yang sudah tiada. Amin.

Oke, intinya perjalanan menuju Curug Leuwihejo berakhir pada pukul 6.30 am pagi itu. Wow dan ternyata beruntungnya saya, lokasi masih lengang dari pengunjung.

So, ini dia hasilnya. Tak begitu sempurna tapi cukup memuaskan lah untuk sekedar trial Handmade Dome untuk foto underwater. Hahaha. Enjoy!




Ada Video juga yang sempat saya edit dengan beberapa aplikasi di Ponsel.

Trial 1

Trial 2

Trial 3

Sudah dapat dan sudah mulai ramai. Pukul 01.00 pm saatnya untuk pulang. Eits, Narsis dulu ya satu kali aja. Hahhaha.

Adios




Senin, 11 April 2016

Dilemma


Ku hitung berapa kali kaki ini melangkah.
Ku ukur setiap jengkal jarak yang telah ku tempuh.
Ku jejali mimpi dan harapan.
Ku telan semua cerita kehidupan.


Aku tak pernah berharap setetes embun jatuh mengusap dahaga.
Aku tak berharap seberkas cahaya menerpa nestapa.
Tak kuharap pula rembulan untuk sekedar menyapa.


Aku tak ingin cinta
Bukan karena aku tak percaya
Aku tak ingin rindu
Bukan karena aku tak mau


Aku hanya tak ingin suatu saat kau akan berkata
"Aku harus pergi."


Karena bukan kehilangan yang aku takutkan akan menyakitiku.
Tapi aku takut tenggelam terlalu dalam ke dalam cintamu.
Lalu kau meninggalkanku.



By : ALIT SUGANDA









Kamis, 03 Maret 2016

Derita Anak Rantau di Ibu Kota : (Kisah 1-Bagian1) Patung Kuda Fatmawati

Googling for Jakarta (Copyright by Google)
Menjadi anak rantau memang harus bermodal keberanian dan tekad yang kuat untuk bisa menjadi manusia super nekad. Apa lagi ketika harus merantau seroang diri tanpa ada satupun keluarga yang berada di bumi rantau yang bisa kita jadikan induk semang. Saya sendiri masih sangat berusaha untuk bisa mengimbangi rasa tak betah saya yang harus hidup sendiri di perantauan dengan tekad untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi, saya memang anak manja yang jarang sekali berada jauh dari orang tua. Namun, enam tahun di perantauan masih saja tak akan bisa menghilangkan rasa rindu saja untuk tidur dipangkuan sang Ibu.

Tapi saya tak bermaksud membagi kesedihan di sini. Saya akan berbagi kemalangan dan kekonyolan yang begitu dramatis yang pernah saya almi.

5 Juni 2010

Saat itu saya masih kelas XIII di STM Pembangunan Yogyakarta a.k.a STEMBAYO yang sekarang bernama SMK N 2 Depok, Sleman. Memasuki smester Tujuh, saya mendapatkan panggilan Magang di Ibu Kota. Kota yang sama sekali tak ada dalam list rencana saya untuk merantau, dan satu pesan yang saya ingat dari sahabat saya Januar adalah "Ibu Kota Lebih Kejam Dari Pada Ibu Tiri!" Ah, semakin membuat saya merasa getir saja.

Namun, di sela kegetiran yang saya rasakan kala itu, ada sedikit rasa aman yang saya rasakan karena saya tak seutuhnya sendiri. Ada Anjar dan Yoko yang kebetulan juga mendapat panggilan Magang di Jakarta. Saya Magang di sebuah kantor di daerah Sunter, Jakarta Utara. Anjar dan Yoko magang di daerah sekitar Fatmawati/Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Anjar tinggal bersama saudaranya di Fatmawati dan Yoko dengan keluarga kakaknya di Ciputat.

Sabtu Pertama di Jakarta

Hari itu Sabtu pertama di Jakarta. Saya yang menumpang kos dengan kakak kelas saya merasa bosan untuk berdiam diri di tempat yang asing dnegan suasana tak nyaman yang memang Hmmm, tak perlu saya jelaskan detailnya. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat menuju kediaman Anjar di bilangan Fatmawati.

Saya yang memang sama sekali belum mengenal kota ini berangkat hanya dengan berbekal petunjuk jalan dari Mas Okvi yang menerangkan jalur bus menuju terminal Senen dan Anjar yang memberi tahu Jalur Bus menuju Fatmawati dan di mana saya harus turun. Yang saya ingat adalah Anjar berkata.

"Pokoknya nanti di Fatmawati kamu turun di Patung kuda aja. Rumah kakakku masuk gang di depan patung kuda. Itu deket Rumah Sakit Fatmawati." Begitu ujarnya.

"Oke, Patung Kuda! Itu petunjuk yang cukup jelas." Pikirku.

Sekitar jam delapan pagi saya menuju daerah Jiung dengan berjalan kaki, karena kata Mas Okvi jalan kaki saja dekat. Dan ternyata Hmmmm Tak sedekat yang ada di bayanganku saat itu. Saat sampai aku menaiki Mikrolet 10 menuju Senen. Dari Senen saya naik Kopaja P20 hingga Blok M dan setelah itu aku naik Mikrolet jurusan Lebak Bulus.

Patung Kuda

Saat naik Mikrolet jurusan Lebak Bulus, aku sempat bertanya pada sang kondektur.

"Pak, lewat patung kuda kan?" Tanyaku.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Nanti kasih tahu saya ya kalau udah sampai patung kuda." Pintaku.
"Iya, patungnya besar kok!" Ujarnya menjelaskan.

"Oke, berarti patung itu memang menjadi landmark!" Batinku.

Atas penjelasan Anjar dan jawaban Sang Kondektur, aku menyimpulkan bahwa
"Oh, patung kuda berarti besar dan terletak di tengah - tengah jalan seperti monumen atau setidaknya posisi dan ukurannya sangat remarkable!" Simpulku dalam hati.

Aku duduk santai sambil memperhatikan jalanan di kota besar yang sangat membingungkan itu. Besar dan Hectic yang tampak mewarnai Ibu Kota pada hari Minggu itu.

Tiba - tiba hati saya mulai gusar saat beberapa waktu lalu saya melihat sebuah plang dengan tulisan Jl. Fatmawati ditambah Anjar mengirimkan sebuah pesan.

Udah sampai mana Bro?

Semakin membuat saya tak tenang. Dengan sedikit nekad saya mendatangi kondektur yang sedang bergelantungan di pintu depan Mikrolet saat Mikrolet berada di perempatan Fatmawati - Cilandak.

"Bang, saya turun patung kuda." Ujar saya mengingatkan.
"Wadduh! Patung kudanya di sana udah kelewat!" Jawab si Abang Mikrolet.
"Kok gak bilang tadi?" Tambahnya.

"HELLLLLAAAAAW GUE TADI KAN BILANG KALO UDAH SAMPE PATUNG KUDA KASIH TAHU!" Kalimat yang menggantung di tenggorokan saya itu tergambar dari ketatnya bibir saya yang tertutup rapat menutupi gigi.

"Ya udah, dek, turun di sini aja! Nyebrang terus naik bus yang sama arah sebaliknya, deket kok gak usah bayar!" Ujarnya.

"Oke!" Sayapun bergegas turun dan menyeberang untuk menunggu bus yang sama.

Tak lama mikrolet dengan jalur sama datang dan sayapun naik. Saya duduk di kursi belakang setelah sebelumnya meminta pada kondektur bahwa saya mau turun di patung kuda.

"Patung kuda ya Bang!" ucapku.
"Iya, ongkosnya dek!" Pintanya.

Bodohnya saya percaya pada kondektur tadi kalau saya tak perlu membayar untuk numpang menuju Patung Kuda.

"Hellllow ini Jekardah Meeeen! mana ada yang gerates!" Kutukku dalam hati.

Oke saya keluarkan uang receh di saku saya dan menyodorkan uang seribu rupah untuk membayar.

"Dekat ini!" Pikirku.

"Settt Dah!!! Serebu!" Kelakar Sang Kondektur yang tampak terkejut dengan wajah nyinyir. Sontak semua penumpang menoleh ke arah kami.
"Parkir aja sekarang dua rebu! Serebu lagi dek!" Tambahnya.
"SOMPLAK!!! Biase ajeeee!!!" Batin saya menggerutu.

Saya tak menghiraukan tanpa ada apapun rasa selain malu, males dan gondok serta sedikit rasa teraniaya oleh kekejaman Ibu Kota. Tak lama waktu berselang, Kondektur mengetuk - ngetuk kaca bus dengan uang recehnya.

"Patung Kuda! Patung Kuda!" Teriaknya memberi petunjuk untuk saya turun.
"Kiri Bang!" Teriak saya.

Mikrolet berhenti di sisi jalan, saya melihat ada Anjar yang sedang menunggu saya di trotoar, namun saat saya mengedarkan pandangan saya, sejauh mata memandang saya tak mendapati patung kuda yang dimaksud hingga akhirnya saya bertanya pada Anjar.

"Patung kudanya sebelah mana?" Tanya saya penasaran.
"Tuh!" Tunjuknya ke seberang jalan. Tepat ke arah patung kuda yang sedang berpose bak kuda yang terpampang di bungkus rokok Must*ng yang terletak di pinggir jalan, atau lebih tepatnya di area trotoar di depan sebuah ruko.

"BANGKEEEE!!!! Segitu doang?" Umpat saya dalam hati.

Pesan moral yang saya dapatkan dari pengalaman saya saat itu sangat berarti dan sangat membantu saya untuk menarik kesimpulan dan hidup bersama dengan prinsip itu.

EXPECT NOTHING
-ME-



Rabu, 02 Maret 2016

Semua-mu dan Semua-nya

Ketika kau pikir semua berpaling darimu...
Ketika kau berpikir semua menjauh darimu...
Yang kau panggil "semua" adalah apa yang kau gilai,
Yang kau panggil "semua" adalah siapa yang kau cintai,
Yang kau panggil "semua" adalah yang kau damba.

Namun kau tak sadar,
Bahwa ada yang menyebutmu sebagai bagian dari "semua"-nya,
Bagian dari SEGALA-nya.
Ada, di sana di sisi ruang yang tak pernah kau tatap,
Tak sudi kau berpaling untuk sekedar melihatnya
Tak sudi kau meluangkan waktu untuk sekedar menyapanya.
Dia,
Seseorang yang menggilaimu,
Seseorang yang mencintaimu,
Seseorang yang mendambakanmu.

Selasa, 01 Maret 2016

Uniqly Family : Kisah Tauladan dari Kak Irine (Sang Bapak)

Keluarga. Saya sangat senang mendengarkan kawan atau siapapun bercerita tentang kehidupan keluarga, apa lagi kalau itu kisah lucu. EITS!!! BUKAN UNTUK MENERTAWAKAN! Tentu saja, bukan. Karena sebenarnya dari kisah lucu dan unik itu saya malah bisa belajar sesuatu.

Perbincangan Bermula.

Dengan mata sipit dan wajah seperti orang Jepang itu dia duduk. Kini tubuhnya sedikit tampak padat, tapi sama sekali tak menghilangkan setiap kesan yang saya kagumi dulu dari Kakak Kelas yang sebenarnya seumuran denganku itu. Aku hanya duduk di kursi plastik di kamar penginapan, sedangkan tergeletak santai di atas kasur sahabatku Jemi. Di kursi lain ada partner saya Djuma.

"Kalau aku, mungkin kita kalau certita tentang masa sulit dulu kan pasti ketawa kan?" Dia berkisah dengan logat jawanya yang sedikit hilang.
"Iya kejadian miris kayak kita misal uang saku lima ribu semingu dan seterusnya." Tambahnya.
"Iye, he ehm." Jawab kami.
"Kalau kita cerita sama teman pasti kan ketawa ya? Karena jadi lucu." Terangnya.
"Tapi, aku punya teman memang sejak kecil udah kaya jadi pas kita cerita begitu kita udah heboh ketawa eh dia cuma bilang 'kok aku gak gitu ya, gak gini ya.' Gitu." Dan sebuah kisah lucu dan bermaknapun bermula dari prologue tersebut.

Cara Seorang Ayah Mencintai dan Melindungi Anaknya.

Googling for Father Photograph

Aku masih melihatnya sebagai seniorku dulu di salah satu kegiatan ekstrakulikuler, dia memang gemar bercerita dan gemar berbagi dan hal yang paling membuatku nyaman sejak dulu adalah karena dia selalu mau mendengarkan ketika siapapun berbicara, itulah kenapa aku tak jengah mendengarkan dia bercerita, karena aku hanya akan jengah mendengarkan cerita dari seseorang yang tak mau mendengarkan orang lain bercerita.

"Bapkku tuh dulu Unik kok memang." Ceritanya. Kami masih mendengarkan.
"Ada satu kejadian waktu dulu aku STM." Tambahnya.
"Dia kan Bapakku nganterin aku ke halte Bus deket rumah." Kisahnya.
"Dan kalian tahu apa?" Seperti dulu, dia masih bisa menyisipkan drama di setiap kisahnya.
"Waktu aku naik, Bapakku teriak ke keneknya." Jawabnya mengabaikan kami yang masih diam mendengarkan.
"Pak ati-ati kui wonge rodo edan!" (Pak hati-hati itu orangnya agak gila!) Kelakarnya menirukan Sang Ayah yang meneriakinya saat itu.

Kami tertawa mendengar kisahnya, tak terkecuali dia.

"Memang unik kok Bapakku tuh!" Hanya itu yang keluar dari bibirnya di sela - sela senyum gelinya.

Pesan Yang Saya Dapat...

Lucu? Memang. Tapi, ada yang lebih dari sekedar lucu yang kami dapatkan.

"Oh berarti itu adalah cara Bapakmu menjagamu kak!" Simpulku.
"Iya jadi kan dia sebenarnya mau melarang kamu buat pacaran dan takut kamu digodain. Jadi Bapak kamu teriakin begitu biar semua orang di Bus dengar dan gak ada yang mau dekat sama kamu!" Timpal Jemi menerangkan.
"Iya biar pada mikir dua kali kalo mau deketin!" Sambar Kak Irine.

Aku jadi teringat perbincanganku dengan Djuma beberapa waktu lalu yang berujung pada sebuah kesimpulan.

Cara seorang Ayah untuk menunjukkan kasih sayang untuk anaknya itu berbeda.
Dia menujukannya dengan cara yang unik.
Diamnya adalah rasa takut kehilangan yang dia pendam.
Dia tak pernah mengeluh dan tak pernah berbicara apapun tentang rasa takutnya.
Karena dia khawatir orang - orang yang dia cintai berpikir
bahwa mereka mempercayakan hidup mereka pada orang yang salah.
Ego Ayah adalah melindungi, mengayomi dan menjaga.
 Hargai dan pahamilah dia, Ayahmu.
-Us-

Bangka Belitung : Hari Terakhir di Bangka

22 Februari 2016 : Check Out

Pagi - pagi sekali kami sudah bangun dan bersiap sambil kembali memeriksa barang masing - masing supaya tidak ada yang ketinggalan.

Sebenarnya pesawat yang akan mengantar kami ke Jakarta dijadwalkan berangkat pukul 6.00 pm tapi kami memang sengaja untuk check out sejak pagi dan menitipkan barang kami di kos Mas Taat dan melanjutkan wisata kami yang terakhir.

Pantai Parai Tenggiri

Setelah menitipkan barang, kami berangkat menuju pantai Parai Tenggiri. Perjalanan kami sedikit terhambat oleh datangnya hujan dan juga ban motor bocor. Kamipun sempat mampir untuk minum kopi di Tung Tau beberapa saat sebelum akhirnya kami lanjutkan perjalanan.

Tung Tau

Sekitar jam sepuluh kami sampai di kawasan pantai tikus dan tak berapa lama kami sampai Marina Bay Hotel yang memang berada di sekitar pantai, namun meski begitu pengunjung lokal tetap bisa masuk dengan membayar 25.000 per orang untuk masuk ke sana.

Dengan ditemani hembusan angin yang kencang dan suasana mendung menutupi langit kami menikmati sajian alam yang Tuhan anugerahkan.












 


selfie

Kuil Tri Agung (Akhir Destinasi).

Karena tak ingin terlambat sampai Bandara, kami tak bisa berlama - lama bersantai di Parai Tenggiri, kami bergegas melanjutkan oerjalanan kami karena langit sepertinya akan kembali menjatuhkan bulir - bulir air.

Kami pacu motor menuju Kuil Tri Agung yang terletak di atas bukit dengan pemandangan laut yang begitu memukau.

Masih tergambar suasana Imlek saat kami sampai di Kuil, pemandangannya memuaskan terlebih dengan tiba - tiba langit berangsur cerah. Seperti biasa kamipun asik berswa foto.








Sayonara. Sampai Berjuma Lagi di Bangka Belitung.

Kami sampai di kos Mas Taat sekitar pukul 3.00 pm tepat, tidak kurang dan tidak lebih. Taksi yang menjemput kamipun datang skitar pukul 3.30 pm untuk mengantar kami menuju Depati Amir.

Lagi - lagi saya merasa enggan untuk pulang. Namun mungkin inilah cara Tuhan supaya saya terus merindukan keindahannya.

Tuhan Sangat Pandai Membuatku Jatuh Cinta
-ME-