Senin, 29 Februari 2016

Senja di Pesisir Samudera Hindia di Barat Pulau Sumatera (Perjalanan Dinas : Painan, Sumatera Barat)

Bekerja memang menuntut kita untuk melakukan hal yang sempurna, hingga terkadang kita dituntut harus melampaui kemampuan kita yang bisa kita lakukan dan biasa kita lakukan. Kadang karena kebutuhan pun kita sering memaksakan apa yang tak bisa kita lakukan hingga akhirnya bisa, bahkan ada juga yang mem - bisa - bisakan hal yang sebenarnya tak bisa.

Tugas Negara

Saya mendapat mandat untuk menjalankan dinas ke sebuah proyek di Painan, Sumatera Barat. Ini adalah kali pertama untuk saya menginjakkan kaki di Tanah Minang. Sedikit excited dan sedikit terpaksa juga, tapi ini keharusan karena kebetulan saya yang sejak awal menghitung dan mendesign proyek ini.

Pagi - pagi sekali saya berangkat dari kos saya di Pasar Rebo, sekitar jam 5.00 am demi menghindari kemacetan Jakarta, untuk mengejar penerbangan pukul 9.55 am. dengan Taxi pesanan saya yang berhasil membawa saya ke Soetta sekitar pukul 6.00 am.

Tanah Minang

Sekitar Jam 11.00 am saya sampai di Bandara Internasional Minangkabau. Hmmm terik matahari benar - benar menusuk kulit saya. Menurut penuturan sang pengemudi mobil sewaan katanya di sini memang panas. Namun ada yang cukup saya kagumi saat saya lepas dari Bandara menuju Painan yang berjarak sekitar tiga hingga empat jam perjalanan. Pemandangannya sepanjang perjalanan adalah hal yang membuat saya cukup terkejut hingga menganga.





Sepanjang Perjalanan saya disuguhi pemandangan pantai yang membentang luas mengiringi perjalanan mobil yang melaju di jalan sisi tebing.

Ditemani Hujan
Senja di Pesisir Samudera Hindia di Barat Pulau Sumatera
Saya tak akan menceritakan bagaimana pekerjaan saya selama di Painan. Karena saya sendiri sebenarnya tak begitu menginginkan tugas ini.

Saya dan dua co-worker saya mendapatkan rumah sewa di daerah dekat Pantai Carocok yang merupakan tujuan wisata warga setempat dan penduduk dari berbagai daerah di Sumatera. Dan tak sampai satu kilo meter dari rumah sewa kami, kami bisa sampai di pantai carocok.

Pesisir Samudera Hindia
Senja datang dan sayang sekali kalau sekali saja saya tak menikmati sunset di tepi pantai, namun teman kami berkata lain, tanpa sempat memberi tahu ke mana tujuan kami, dia memacu mobil melewati Pantai Carocok menuju Puncak Lengkiasau.



Dan saat mentari mulai terbenam, inilah yang saya dapat.




Di sini bku berdiri menikmati cita rasa yang Tuhan sajikan untukku.
-ME-

Tahun Baru : Pangandaran



Meski saya terlahir di tanah Sunda, tempatnya di Tasikmalaya, Jawa Barat. Namun untuk urusan wisata saya tak tahu menahu dan bahkan belum pernah menjamah wisata alam daerah Jawa Barat, atau persempit saja, Tasikmalaya dan sekitarnya.

Namun, di awal tahun ini saya pribadi memang ingin mengunjungi keluarga kakak saya dan bertemu dengan keponakan cantik saya di Banjar Patroman, Jawa Barat. Dan karena itu akhirnya kami memutuskan untuk sekalian saja ke Pangandaran dan ke Green Canyon.

31 Desember 2015 jam 4.00am

Karena takut terjebak kemacetan daerah Puncak di pergantian tahun, kami memutuskan berangkat pagi buta. Namun saat sampai puncak, tetap saja kami terjebak. Tapi tak sesial para pengendara mobil, kami yang mengendarai mootor lebih beruntung setidaknya meski perjalanana menjadi sedikit lama ditambah terhalang oleh kabut dan hujan deras.  Sekitar jam dua belas siang kami baru sampai di  Banjar dan bertemu dengan kakak dan kakak ipar saya dan juga keponakan saya yang menggemaskan dan memang lebih mirip dengan wajah saya bila dibandingan dengan wajah kedua orang tuanaga. Mungkin saat mengandung Raffa, kakak ipar saya sedikit muak pada saya entahlah hahahahhahaha.


Malam itu karen kami di serang oleh rasa lelah, akhirnya kami tak ikut menyemarakan pergantian tahun, kami lebih memilih untuk tidur saja.

1 Januari 2016

Setelah tidur selama satu tahun, kami bangun pagi sekali untuk menuju Pantai Pangandaran.
Perjalanan sekitar dua samapi tiga jam untuk menuju Pantai Pangan daran dari Kota Banjar, namun saat tiba di sana kami kecewa dengan kondisi pantai yang kotor. Sudah pasti semua sampah itu adalah sampah sisa pesta perayaaan pergantian tahun malam tadi. Tapi haruskah mereka meninggalkan sampah itu di pantai? "KAMPUNGAN!" umpat saya kesal.

Akhirnya karena malas dan kecewa kami langsung saja menuju Grand Canyon, melewati beberapa area pantai lainnya termasuk Batu Hiu.

Batu Karas

Karena hari itu hari jumat, dan jam buka Grand Canyon adalah jam 1.00 pm maka kami yang malas menunggu memilih untuk menuju pantai Batu Karas terlebih dahulu sesuai dengan rekomendasi dari salah satu penjaga parkir di area Granc Canyon.

Ada kekesalan saat mengantri di pintu masuk area pantai Batu Karas. Antrean motor yang acak - acakan dan para pengantri yang menyerobot tetap dilayani. Hingga tiba saat motor kami sampai di depan wajah si penjaga pintu masuk saya tak bisa membungkam bibir saya.

"Emangnya antriaannya begini ya?" Tanya saya tanpa basa - basi.
"Maksudnya?" Tanya ssalah satu penjaga.
"Yang nyerobot antrian tetep diduluin? Yang nunggu lebih dulu dibiarin!" Reflek saja saya nyolot. Dalam batin saya hanya ngedumel dengan berbagai kutukan yang tidak pantas untuk dituangkan.
Penjaga itu hanya diam tak menjawab. Karena masih merasa kesal saya akhirnya mengeluarkan kata - kata terakhir saya.
"Lain kali gak usah pake penjaga kalau tetep berantakan begini masuknya. Percuma!" Kepala saya sudah benar-benar mendidih.

Sampai di area pantai kami sempat mampir dulu di pantai nelayan dekat pantai Batu Karas yang menjadi obyek wisata.

Kapal Nelayan

PANTAI BATU KARAS


Pantai Batu Karas



Ada sedikit rasa miris sebenarnya, saat saya melihat beberapa penduduk pribumi atau pengunjung berwajah lokal berlalu - lalang atau duduk di dalam mobil sambil melepaskan berbagai sampah plastik dari genggaman tangan mereka saat di sisi lain saya melihat beberapa anak kecil yang dipimpin oleh lelaki dan perempuan berwajah asing (Bule) memunguti sampah - sampah di area pantai.

Selfie
GRAND CANYON (Gagal)

Setelah puas, kami memutuskan untuk kembali menuju Grand Canyon, namun saat kami kembali ternyata loket dan area tunggu sudah disesaki pengunjung, awalnya kami mau memaksakan untuk tetap berjejal dalam antrian, namun ternyata menurut penerangan penjaga pintu gerbang keberangkatan perahu menerangkan bahwa hanya bis amenaiki perahu untuk berkeliling saja tapi tidak bisa body rafting.

"Gak bisa body rafting a, jadi cuma bisa keliling pakai perahu aja, kalau body rafting sampai ke dalam - dalam ditutup." Terangnya.

Percuma juga sih, kami pikir kalau tidak bisa body rafting. Akhirnya kami memutuskan untuk pulang saja, toh mungkin memang Tuhan belum mengijinkan kami. Jadi sudahlah.

Kembali Ke Jakarta.

Hal yang paling saya benci saat berlibur adalah, saat saya harus kembali pulang menuju "Realita". Namun tak apalah, kalau saya terus berwisata, mungkin saja saya juga akan merasa bosan. Jadi satu - satunya yang bisa saya lakukan adalah, berharap dna berdoa pada Tuhan untuk memberi saya kesempatan untuk menikmati keindahan yang Dia ciptakan.

Mentari Terbit di Nagreg

Pagi Menyambut

Udara Segar

Sampai Jumpa

Pagi Mengantar

Menuju Daerah Bandung

Istirahat Sejenak

Di Daerah Cianjur

Tuhan selalu tahu bagaimana cara membuatku Jatuh Cinta
-ME-

Gunung Batu, Puncak 1 ke dua (Mati Itu Pasti.)

Akhir Bulan Oktober

Kami berangkat pagi sekali menuju tempat yang sudah pernah kami kunjungi. Sudah tak perlu untuk saya terangkan lagi rute perjalanannya karena sudah saya pernah post sebelumnya dan saya tak mau repot mengingatnya lagi *Emot Nyengir*.

Sampai di pintu masuk, ternyata parkiran pagi itu kosong dan ternyata memang beberapa waktu lalu di sana sempat ada longsor. Tapi kami tak mau mengurungkan niat kami semula, akhirnya kami tetap melangkahkan kaki.

Ternyata jalur daki saat ini sudah diubah, bermula di dekat pintu parkir bagian dalam. Dari situlah perjalanan kami mulai.


Tuhan Selalu Membuatku Jatuh Cinta.
Kali ini saya ingin benar - benar sampai atas, karena di kunjungan pertama kami, kami enggan sampai atas karena terlalu penuh. Tapi kali ini sedikit lengang dan kamipun bertekad sampai puncak.



Di sela - sela tanjakan kami sempat istirahat karena ternyata jalur sempit yang dulu itu kini semakin smepit dan tak lagi dipagari ilalang, tampak bekas longsorang tersisa di sana, lagi pula kami memang harus bergantian dengan beberapa orang yang mau turun. Dan ada satu kejadian yang mmebuat saya terkejut, salah satu pendaki yang sedang turun hampir saja terjatuh setelah terpeleset batu tepat di jalur yang menyempit itu. Beruntung tak sampai jatuh.

Perjalanan kami lanjutkan hingga akhirnya kami berhasil sampai di puncak Gunung Batu.

Bukan Lelahnya tapi Acrophobianya

Beranjak Siang
Ada yang menyita perhatian saya saat berada di puncak. Ya itu sebuah monumen peringatan akan salah satu pendaki yang menjadi korban di sana. Kalau saya hitung kurang lebih empat hingga lima bulan kunjungan saya ke sini.

In Memoriam Andri Cahya Nugraha
Semoga Diterima si Sisi-Nya

Uang pasti habis.
Tua itu pasti.
Mati juga pasti.
Lalu kenapa harus mengkhawatirkannya?
Jalani saja!
-ME-

INTERMEZO : Ragunan 06 September 2015

Belum dapat ide lain. Ya sudah minta difoto ajalah dulu. Hahahahha.


Dancing In The Zoo
I just wanna dance with my self, feeling my self.
Nobody can control me but ME.
-ME-

Curug Kantri, Tanjung Sari & Curug Sangiang, Gunung Batu 2 (Belajar Dari Kekecewaan & Mengambil Hikmahnya)

Setelah sekitar terpuruk dalam rasa kecewa dan kungkungan ekonomi yang terus membayangi. Setelah perjalanan ke Curug Parigi 02 Agustus 2015 itu, kami akhirnya memutuskan untuk kembali mencari alternative hiburan lain di Kota Jakarta.

Akhirnya pilihanpun jatuh ke Curug Kantri di desa Tanjung Sari untuk perjalanan kami selanjutnya tanggal 16 Agustus 2015.

16 Agustus 2015.

Akhirnya tanggal yang kami tunggu - tunggu sudah datang. Meski sedikit gambling karena saat itu musim kemarau, kami tetap nekat untuk berburu dengan bermodal HereDrive di Lumia 730 milik saya dan juga info yang kami dari dapat dari beberapa blogger tanah air. Akhirnya kamipun nekad menuju TKP.

Sunrise yang sepertinya sama


Ternyata di perjalanan kami, kami baru ingat bahwa ternyata rute yang kami tempuh sama dengan rute untuk menuju Gunung Batu beberapa bulan lalu. Dengan bermodal GPS dan bertanya pada penduduk setempat akhirnya kami menemukan tempatnya. Areanya memang memasuki sebuah perumahan yang memang sepertinya tidak selesai.



Sampai di pintu masuk, kami sempat mampir dulu di sebuah warung dan sempat bertanya - tanya beberapa hal dengan sang abang dan teteh penjaga warung. Ternyata memang pembangunan perumahan ini terbengkalai karena adanya protes warga akibat rencana pembangunan gereja yang ada di sana. Padahal pemilik tanah yangmerupakan haji sebenarnya sudah mengijinkan namun karena ada pro- kontra akhirnya ya sudahlah tunda dulu saja.

Tak lama karena tak sabar dan tergitu akibat beberapa foto yang ada di google, kamipun bergegas meuju area air terjun.

Hijau


Sampai di area air terjun, ternyata kekhawatiran kamipun dibenarkan oleh kondisi area air terjun yang kering. "Hmmm!" Ada kekecewaan di sela deheman dibibir saya.

Curug Kantri
Namun meski begitu, kami bisa membayangkan keindahan jatuhnya bergalon - galon air di musim hujan.

Semoga kami bisa kembali.

Tanggung Jalan Jauh...

Akhirnya karena tanggung, kami sempat bertanya pada si pemilik warung tadi, mana lagi yang bisa kami kunjungi. Dia Bilang Curug Sangiang di Gunung Batu Dua. Akhirnya meski dengan rasa pesimis kami tetap menjajal untuk menuju ke area Gunung Batu Dua. Ternyata memang benar itu dekat dengan Gunung Batu Satu yang pernah kami kunjungi dulu.

Dan Yup memang air terjun Sangiang pun kering. Kami tak berlama - lama di sana selain panas karena kamipun bertemu seekor binatang yang tidak menggemaskan dan sangan berciri khas. Ular. Saya yang memang takut ular enggan untuk menetap lebih lama lagi. Akhirnya kami pun turun dan beristirahat di warung gubuk yang berada di seberang kali.

Kecew? Sedikit, namun tidak juga. Karena saya yang memang penat dnegan kehidupan di Ibu Kota setidaknya bisa sedikit menghirup segarnya udara pedesaan.

Kerja Bakti para Petani daerah sekitar

Partner

Memandang Puncak 1

Langkahkan saja!
Hidup tak hanya berisi penerimaan dan kebahagiaan.
Tapi juga penolakan dan kekecewaan.
Hadapilah!
-ME-



Minggu, 28 Februari 2016

CURUG PARIGI (Semoga Akan Membaik)

2 Agustus 2015

Sebenarnya perjalanan ini kami lakukan bukan karena hanya penasaran saja tapi memang karena budget dan waktu yang kami punya benar - benar kami batasi. Karena berbagai alasan meski sedikit pesimis akhirnya kami menjatuhkan pilihan ke daerah Bantargebang, Bekasi dengan modal info dari salah satu Blog yang mengatakan bahwa "Curug Parigi, Niagara di Indonesia." Niagara di dekat tempat pembuangan sampah, "What A Miracle!!!" Pikir kami. Sedikit pesimis kami segera menuju tempat itu, dan memang sedikit memusingkan karena terletak di belakang pabrik - pabrik. Saya tak ingat detailnya yang jelas kami akhirnya menemukannya.

Curug Parigi Saat Itu


Hmm agak kecewa sebenarnya melihat warna air yang kotor, bahkan kalau diedit dengan photoshop pun akan semakin tampak aneh. Selain itu juga warung - warung di tempat motor parkir, para penjajanya agak kurang ramah.

Ada satu cerita saat kami bermaksud membayar uang parkir tiba - tiba salah satu pedagang berkata

"Bayar Parkirnya Bang!" Dengan wajah jutek.

"Memang saya mau bayar!" Reflek sayapun nyolot, karena memang si Ibu itu sepertinya ingin kami membayar parkir padanya, tapi alih - alih membayar padanya saya lebih memilih bayar ke salah satu Bapak dari warung lain yang kebetulan membantu kami.

Ya, sebaiknya Si Ibu merawat dulu itu curug sebelum meminta bayaran ini itu ke pengunjung. Itu sih saran saya.

Rabu, 24 Februari 2016

Uniqly Family : Sothil Bi... Sothil!

Keluarga adalah dunia kecil yang selalu menjadi tempat setiap manusia bernaung. Dunia di mana sebuah pelajaran dan kehidupan bermula. Dan terkadang keluarga adalah panggung Ludruk yang sempurna dalam kehidupan.

Keluarga kecil kami berpindah ke Jogja sekitar tahun 1999, saat saya masuk kelas dua Sekolah Dasar. Sebenarnya bukan keluarga kecil sih, karena ada Adik Mamah yang ikut, namanya Bi Upen, dia bibi tersayangku yang selalu menjadi sahabat bagi saya. Bahkan saya pribadi menganggap dia sebagai kakak perempuan saya.

Tounge Invasion...

Anda yang merantau, pasti tahu bagaimana penderitaan dan susahnya menyesuaikan diri dengan kehidupan di perantauan, apa lagi urusan komunikasi. Kami yang berdarah sunda jelas agak kesusahan untuk mengubah aksen sunda  menjadi jawa medhok. Tapi tidak bagi saya yang kebetulan masih kecil dan memang katanya anak kecil lebih cepat menyesuaikan.

Hanya saja masalah terjadi di orang tua, kakak dan bibi saya. Mereka berusaha mati - matian untuk menyesuaikan diri dalam segi percakapan, namun orang tua saya akhirnya mengambil jalan pintar untuk berhenti dan menggunakan Bahasa Nasional saja, di ikuti kakak saya yang juga mulai mencampur bahasa Jawa dan Indonesia. Namun berbeda dengan Bibi saya yang tercinta, dia tekun berusaha mengikuti aksen jawa (FYI sekarang dia berhasil menjadi perempuan jawa dengan aksen super Medhok bahkan bahas Sunda saja dia Medhok) terlebih dia berpacaran dengan orang asli Jogja.

Sebuah Cerita Terjadi Saat...

Source :
google.com
sothil


Tak lama dia berpacaran akhirnya Bibi menikah dengan sang kekasih. Dia hidup bersama keluarga Sang Suami namun masih sering mengunjungi kami.

Ada satu kejadian yang dia ceritakan saat itu pada kami. Kejadian saat dia dan sang ibu mertua sedang memasak.

"Bibi kan nuju mantuan masak Nde!" (Bibi kan lagi bantuin masak ya Nde (Panggilan saya di keluarga) Kisahnya bermula.
"Terus Bibi bade ngakeul sangu!" (Terus Bibi mau ngadukin nasinya) Tambahnya antusias.
"Kan bibi teu terang di mana cukil na!" (Kan bibi gak tau di mana centong nasinya) Dia tetap bercerita saat saya masih diam menunggu Gong dari ceritanya.
"Tah bibi teh naros ka Emak, nganggo bahasa Jawa kan sakalian latihan ameh lancar." (Nah bibi tanya ke Emak, pakai bahasa Jawa kan sekalian latihan biar lancar)
"Terus bibi narosna kumaha?" (Terus bibi nanyanya gimana?) Akhirnya aku bersuara.
"Kieu Yeuh!" (Gini nih!)

"Bu sega ne tak udhak yo!" (Bu nasinya aku aduk ya.) Ujarnya.
"Iyo." jawab sang ibu mertua singkat.

Bermaksud mengaduk nasi, Bi Upen bingung mencari centong nasi. Alhasil diapun bertanya.

"Bu, lah Ithile neng endhi?" (Bu, loh it*** nya di mana?) Teriaknya pede.
"Apane Pen?" (Apanya Pen?) Tanya Sang Ibu Mertua memastikan.
"Ithil bu." Jawabnya lagi.
"Iku loh bu, Ithil nggo ngudhak segane!" (Itu loh bu, It*** buat ngaduk nasinya!) Terangnya.
"Kui jenenge sothil Pen, udhu Ithil!" (Itu namanya Sothil pen bukan It***) Sambar kakak iparnya.
"Nak ithil ki kui! Hahahahahha!" (Kalau it*** tuh itu! Hahahaha!) Tambahnya sambil menunjuk ke salah satu area di tubuh Bi Upen.

"Bahahahhahaha!" Saya terbahak tak bisa menahan geli. Hancur sudah pamornya di mata Sang Mertua.

Memang bahasa adalah senjata yang sangat ampuh untuk menjalin sebuah hubungan.
Bibiku sayang bibiku malang.

Salam Sayang dari keponakanmu tercinta
Ende

Selasa, 23 Februari 2016

Putih Abu (Kisah 5) : Celanaku Sayang Celana (Aku) Malang.

Seiris kecil memory tentang masa putih abu yang aku ingat memang sebagian besar merupakan hal yang memalukan. Tapi bukan mempermalukan yang menjadi point utama, tapi tertawa dan mengenang bersama itulah yang menjadi point sempurna yang saya harapkan.


Jangan cari saya!!!


Teringat sebuah kisah tentang saya yang dulu menjadi penjuru kecil dalam barisan yang kalau ada komando "Hitung! Mulai!" Maka saya akan berteriak "Sepuluh!" Atau "Lengkap!" Dengan keras. Yes, karena saya kurang bisa menyaingi tinggi badan teman teman satu pleton. Setiap latihan di "Kandang Macan" pleton putra dan putri akan di pisah. Dan seperti biasa saya akan mendapat posisi di trio terakhir pleton putra. Namun terkadang saya berada di tengah, itupun kalau pleton putra dan putri digabung tanpa menyelipkan personel putri di tengah trio. Ada satu kejadian yang cukup menggetarkan hati dan memalukan bagi diri saya pribadi saat pleton putra dan putri digabung.


Saya ingat saat itu hari kamis. Saat senja mulai merambati birunya langit Jogja, kami berlatih untuk sekedar latihan rutin, formasi dan sebagainya. Ada yang salah dengan saya saat itu. Saya biasanya mengkhususkan seragam yang lebih longgar setiap hari senin, kamis dan kecuali sabtu karena seragam khusus jumat sabtu memang saya buat standar saja karena kalau terlalu di pas akan panas. Tapi Kamis itu saya mengenakan seragam putih lengan panjang dan celana abu yang sedikit ketat di bagian selangkangan.


Dari para pembaca pasti familiar dengan teriakan senior yang berbunyi "Putra angkat rata-rata air!!!" Saat sedang melakuakn jalan di tempat dalam barisan.


Kala itu setelah melakukan dan mengikuti berbagai komando dasar hinga formasi, tubuh saya yang mulai lelah mulai lupa untuk mengakali celana ketat saya itu. Dan alhasil sesuatu terjadi saat komandan menyerukan komandonya.


"Jalan di tempat! Grak!" Saat itu Kak Danang Prayudi yang menjadi komando. Komando pertama semua baik-baik saja. Begitupun komando ke dua karena saya sempat sedikit mencuri gerakan untuk sedikit menarik celana saya ke atas. Hingga komando ke tiga.


"Shrek!!!!!" Suara yang tak ingin saya dengar dari efek yang timbul akibat kain yang terkoyak itu bergema kala posisi saya berada di shaf depan.


"Sial!!!" Umpat saya dalam hati.
"Kkkk!!!!" Dan saya mendengar dua orang di belakang saya terkekeh diikuti dua temen perempuan di sebelah mereka.


"Ada apa dek?" Menyadari ada yang salah. Kak Danang bertanya.
"Istirahat di tempat grak!" Saya tahu pasti beliau menginginkan jawaban atas apa yg terjadi. Saat semua anggota pleton mengambil posisi istirahat di tempat. Saya tetap teguh berdiri dengan sikap siap sempurna, enggan membuka kaki saya.


"Kak!" Saya tak mau menunggu lagi.
"Iya kenapa dek?" Tanya Kak Danang.
"Saya mau ijin gak ikut latihan lagi hari ini." Ucapku.
"Kenapa?" Terlihat kerutan di keningnya. "Emmm... Celana saya sobek!" Ujarku lirih. "Bahahhahahahh!!!" Tak elak tawa dari teman-teman dalam barusanpun pecah.
"Oh silakan!" Aku tahu Kak Danang sedang menahan tawa. Aku segera balik kanan keluar barisan. Sambil sedikit berlari dengan tangan menutui sobekan di celana bagian belakang, saya keluar dari lapangan.


Saya tak perlu bercermin untuk mengetahui betapa merahnya wajah saya saat itu. Saya segera berlari ke kamar mandi untuk sekedar memeriksa seberapa parah sobekan di celana saya dan ternyata.


"KAMPRET!!!" Dari bawah selangkangan hingga ujung lubang sabuk belakang terkoyak. Dan tentu saja tak perlu saya katakan bagian mana yang terekspos. Meski saya mengenakan underwear tetap saja itu memalukan.

With Shame (Shame on Me)
ME

Senin, 22 Februari 2016

Dangerously In Love


I am in love with you
You set me free
I can't do this thing
Called life without you here with me
'Cause I'm dangerously in love with you
I'll never leave
Just keep lovin' me
The way I love you loving me

'Cause I am in love with you
You set me free
I can't do this thing
Called life without you here with me
'Cause I'm dangerously in love with you
I'll never leave
Just keep lovin' me
The way I love you loving me
-Beyonce Knowless_Dangerously In Love-

The best part of being In Love is when You fall for someone.
There's a lot of things that kept you loving the way how love hurts.
When You find the right person, there'll be something that knocks you down.
When You think you're in the right time to loving someone, there'll be nobody there who'll love you in return.
Why is love is so complicated?
But the only fact is The best thing of love is when you know who deserves your love.


Kalau : Sajak Jika...

Kalau saja Tuhan mengijinkanku


Kalau Tuhan memperbolehkanku untuk memilih, aku hanya ingin duduk di jajaran kursi penonton memandang ke arah panggung menonton berjuta sandiwara kehidupan dengan segala drama yang terpampang di hadapan mata Sang Pencipta.

Kalau aku boleh, biarkan saja Tuhan mengunciku di kursi besi nan dingin dengan kekosongan hidup tanpa harus mencicipi getir luka dan manisnya cinta.

Kalau boleh aku ingin saja diam tak bersuara dan terasing dari pandangan mata dan perbincangan manusia lainnya akan apa dan siapa diriku.

Dan Kalau boleh aku hanya ingin duduk di sudut gelap dengan sebatang lilin yang menyala tanpa harus mengiba belas kasih dan sayang.

Kalau saja aku diijinkan untuk meminta pada Tuhan agar aku duduk saja di Samping Nya dan belajar dari kehidupan yang sedang Dia pertontonkan padaku.

Tuhan, Bila hati adalah kerumitan yang tak akan mampu terpecahkan oleh logika manusia dan tak ada satupun teori yang mampu menyelesaikan teka - teki rasa dan kehidupan, aku hanya ingin satu.
Biarkan aku hidup dengan kerumitan hidup itu sendiri, singkirkan kerumitan hati yang hanya akan membebani.

Sahabatku berkata "Kalau tidak ada drama dalam kehidupanmu, itu sama saja kau mati."
Lalu apakah sebenarnya aku bersajak untuk menjemput kematian?


Putih Abu (Kisah 4) : Gantungan Kunci



Jaman STM memang menjadi masterpiece yang selalu akan diingat oleh sebagian besar orang yang pernah mengalaminya. Baik, buruk, lucu, menyeramkan. Apapun kesannya tetap akan menjadi hidangan renyah di meja makan kala kembali bersua.

Ingat saat jaman putih abu dengan segala memori yang tersimpan dengan indah dan rapi di kotak berhiaskan ukiran emas yang tak kan pernah ternilai harganya.

Masa Itu
Satu lagi

Ada sebuah kejadian lucu yang selalu ada di kepala saya dan terkadang kami bahas bila sedang reuni, ada ataupun tidak ada sang pemeran utama akan selalu kami bahas karen cukup menggelikan dan sedikit tak pantas mungkin, tergantung dari segi mana anda memandangnya.

Dulu Kala

Saat kami duduk di bangku kelas XII kami bertemu dengan pengajar yang bisa dikatakan sungguh remarkable memang sangat gampang diingat. Mulai dari cara mengajar hingga kepribadian dan slogan - slogannya.

Beliau Bernama Ibu Sum.

Ibu Sum adalah guru Kewirausahaan. Setiap beliau masuk kelas, kami dan saya yakin semua murid di kelas dan jurusan lain akan melakukan hal yang sama. Menata deretan meja dengan snagat rapi, mensejajarkan tepian meja dengan garis keramik. Menyimpan jaket ke dalam tas dan meletakkan di pinggir meja, membersihkan meja dari debu, memasukan pakaian dan merapikan penampilan, kembali menghapal dan mengingat pelajaran minggu lalu.

Dan saat beliau tiba semua murid akan duduk rapi dengan kaki di bawah meja tanpa keluar dari sisi meja, tangan kami lipat di atas meja, duduk tegap, tak bersandar, tidak menyangga dagu ataupun kepala dengan tangan. Terpakasa? Sakit? Pegal? Jelas! Tapi kalau tidak begitu, itu sama saja dengan menjebloskan diri sendiri ke mulut buaya lapar.

Kisah Bermula...

Seperti biasa, sebelum memulai pelajaran beliau akan memanggil beberpa anak secara acak untuk mempresentasikan pembahasan di minggu sebelumanya, dan seperti biasa, beliau akan memanggil kami secara acak, entah itu dengan melihat tanggal, atau tahun lalu dengan berbagai cara berbuntut pada nomor absen atau huruf depan dari nama murid, atau juga melalui mimpi dia semalam atau bisa jadi dari kejadian yang beliau alami kemarin, apapun itu tak ada satupun yang bisa menebak. So, Random!

Hari itu, saya ingat duduk di meja yang berada di deret ke dua baris ke empat bersebelahan dengan Winda, di depan kami ada Merry dan Bintang, lalu sebelah kami adalah Tripur, di belakangnya ada Feri dan Januar dan di belakangnya Rachmad. Satu persatu teman saya maju ke medan perang, bahkan Winda pun sempat menjadi korban lagi.

Hingga tiba - tiba sebuah perhitungan jatuh pada Uyuh a.k.a Ferry yang memiliki nomor absensi 11. Seperti biasanya, saat ada teman yang menjadi korban semua anak akan berpaling dan tersenyum lega. seperti berkata "On Your Face!" dan "Hurray!!!"

Presentasipun dimulai...

Enatah bagaimana dan berapa panjang kalimat yang telah terucap dan sekeras apa otak Uyuh bekerja untuk mempresentasikan tentang pelajaran minggu lalu di depan kelas, tiba - tiba Sang Guru menghentikan Uyuh.

"Sebentar Mas, kamu merokok ya?" Beliau sepertinya mencium bau asap rokok.
"Iya, Bu!" Jawab Uyuh santai.

Sejenak beliau terdiam mengambil nafas panjang sambil memasang raut kecewa marah, kesal dan sebagainya. FYI... Beliau adalah salah satu Tim Tata Tertib Guru.

"Coba bawa rokoknya ke depan!" Perintah beliau.

Uyuh hanya mengangguk dan berjalan menuju bangkunya untuk mengambil sebungkus rokok miliknya. Seketika itu seisi kelas hanya terdiam dan memandang ke arah Uyuh yang sedang merogoh - rogoh sesuatu di dalam ransel miliknya. Cukup lama hingga akhirnya Bu Sum kembali bersuara.

"Cepat! Bawa saja sekalian dengan tasnya ke depan!" Perintahnya tegas.

"Aduuh!" Uyuh mengeluh lirih. Terlihat keterkejutan di wajah Rachmad alias Nanank dan Januar alias Bedjo saat setelah melihat isi ransel Uyuh. Aku hanya melihat ke arah mereka bertiga dan mencoba menebak apa yang sebenarnya ada di dalam ransel Uyuh.

"Cepat bawa ke sini!" Bentak Bu Sum.

Dengan ragu Uyuh membawa ranselnya ke depan dan menyerahkannya ke pada Bu Sum yang kemudian duduk sambil memeriksa dan mencari - cari rokok di dalam ransel milik Uyuh. Namun sesuatu yang entah apa membuat Bu Sum menghentikan gerilyanya. Tampak beliau menarik nafas panjang saat wajah Uyuh semakin tampak panik dan bibirnya membentuk kalimat "Wadduh!" Aku semakin penasaran.

"Ini apa?" Tanya Bu Sum sambil mengeluarkan sesuatu dari ransel Uyuh. Sesuatu yang terbungkus rapat oleh plastik berbentuk kotak. Sesuatu yang bundar.

"Kondom Bu!" Jawab Uyuh sekenanya.

Seketika itu juga semua murid terdiam dan aku hampir tersedak ludahku sendiri mendengar jawaban Uyuh dan mengetahui benda apa itu. Aku dan Winda saling berbalas pandang penuh rasa heran seolah berkata. "Ngapain bawa begituan ke seklolah?"

"Buat apa kamu bawa ini?" Seolah tahu pertanyaan dipikiran kami Bu Sum bertanya pada Uyuh.

"Buat... Gantungan Kunci bu!" Jawab Uyuh.

"WHATTTTTTTTTT!" Wajah kami tak terkecuali Bu Sum seolah bingung akan komentar apa yang harus kami lontarkan.

"Sehabis pelajaran kamu ikut saya!" Hanya itu yang keluar dari bibir Bu Sum sebelum akhirnya melanjutkan pelajaran hingga jam berakhir.

Hingga akhirnya jam pelajaran berakhir, Uyuh yang mengikuti kepergian Bu Sum tak pernah kembali, entah ke mana, bahkan tak ada satupun yang berani membahas dan bertanya pada Bu Sum. Namun semua itu masih menyimpan rahasia dan kenangan yang tak akan pernah bisa dilupakan.

Dan dia tak pernah kembali. Kami merindukanmu.

Honor and Pride
Friends