Kamis, 03 Maret 2016

Derita Anak Rantau di Ibu Kota : (Kisah 1-Bagian1) Patung Kuda Fatmawati

Googling for Jakarta (Copyright by Google)
Menjadi anak rantau memang harus bermodal keberanian dan tekad yang kuat untuk bisa menjadi manusia super nekad. Apa lagi ketika harus merantau seroang diri tanpa ada satupun keluarga yang berada di bumi rantau yang bisa kita jadikan induk semang. Saya sendiri masih sangat berusaha untuk bisa mengimbangi rasa tak betah saya yang harus hidup sendiri di perantauan dengan tekad untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ditambah lagi, saya memang anak manja yang jarang sekali berada jauh dari orang tua. Namun, enam tahun di perantauan masih saja tak akan bisa menghilangkan rasa rindu saja untuk tidur dipangkuan sang Ibu.

Tapi saya tak bermaksud membagi kesedihan di sini. Saya akan berbagi kemalangan dan kekonyolan yang begitu dramatis yang pernah saya almi.

5 Juni 2010

Saat itu saya masih kelas XIII di STM Pembangunan Yogyakarta a.k.a STEMBAYO yang sekarang bernama SMK N 2 Depok, Sleman. Memasuki smester Tujuh, saya mendapatkan panggilan Magang di Ibu Kota. Kota yang sama sekali tak ada dalam list rencana saya untuk merantau, dan satu pesan yang saya ingat dari sahabat saya Januar adalah "Ibu Kota Lebih Kejam Dari Pada Ibu Tiri!" Ah, semakin membuat saya merasa getir saja.

Namun, di sela kegetiran yang saya rasakan kala itu, ada sedikit rasa aman yang saya rasakan karena saya tak seutuhnya sendiri. Ada Anjar dan Yoko yang kebetulan juga mendapat panggilan Magang di Jakarta. Saya Magang di sebuah kantor di daerah Sunter, Jakarta Utara. Anjar dan Yoko magang di daerah sekitar Fatmawati/Lebak Bulus, Jakarta Selatan. Anjar tinggal bersama saudaranya di Fatmawati dan Yoko dengan keluarga kakaknya di Ciputat.

Sabtu Pertama di Jakarta

Hari itu Sabtu pertama di Jakarta. Saya yang menumpang kos dengan kakak kelas saya merasa bosan untuk berdiam diri di tempat yang asing dnegan suasana tak nyaman yang memang Hmmm, tak perlu saya jelaskan detailnya. Akhirnya saya memutuskan untuk berangkat menuju kediaman Anjar di bilangan Fatmawati.

Saya yang memang sama sekali belum mengenal kota ini berangkat hanya dengan berbekal petunjuk jalan dari Mas Okvi yang menerangkan jalur bus menuju terminal Senen dan Anjar yang memberi tahu Jalur Bus menuju Fatmawati dan di mana saya harus turun. Yang saya ingat adalah Anjar berkata.

"Pokoknya nanti di Fatmawati kamu turun di Patung kuda aja. Rumah kakakku masuk gang di depan patung kuda. Itu deket Rumah Sakit Fatmawati." Begitu ujarnya.

"Oke, Patung Kuda! Itu petunjuk yang cukup jelas." Pikirku.

Sekitar jam delapan pagi saya menuju daerah Jiung dengan berjalan kaki, karena kata Mas Okvi jalan kaki saja dekat. Dan ternyata Hmmmm Tak sedekat yang ada di bayanganku saat itu. Saat sampai aku menaiki Mikrolet 10 menuju Senen. Dari Senen saya naik Kopaja P20 hingga Blok M dan setelah itu aku naik Mikrolet jurusan Lebak Bulus.

Patung Kuda

Saat naik Mikrolet jurusan Lebak Bulus, aku sempat bertanya pada sang kondektur.

"Pak, lewat patung kuda kan?" Tanyaku.
"Iya." Jawabnya singkat.
"Nanti kasih tahu saya ya kalau udah sampai patung kuda." Pintaku.
"Iya, patungnya besar kok!" Ujarnya menjelaskan.

"Oke, berarti patung itu memang menjadi landmark!" Batinku.

Atas penjelasan Anjar dan jawaban Sang Kondektur, aku menyimpulkan bahwa
"Oh, patung kuda berarti besar dan terletak di tengah - tengah jalan seperti monumen atau setidaknya posisi dan ukurannya sangat remarkable!" Simpulku dalam hati.

Aku duduk santai sambil memperhatikan jalanan di kota besar yang sangat membingungkan itu. Besar dan Hectic yang tampak mewarnai Ibu Kota pada hari Minggu itu.

Tiba - tiba hati saya mulai gusar saat beberapa waktu lalu saya melihat sebuah plang dengan tulisan Jl. Fatmawati ditambah Anjar mengirimkan sebuah pesan.

Udah sampai mana Bro?

Semakin membuat saya tak tenang. Dengan sedikit nekad saya mendatangi kondektur yang sedang bergelantungan di pintu depan Mikrolet saat Mikrolet berada di perempatan Fatmawati - Cilandak.

"Bang, saya turun patung kuda." Ujar saya mengingatkan.
"Wadduh! Patung kudanya di sana udah kelewat!" Jawab si Abang Mikrolet.
"Kok gak bilang tadi?" Tambahnya.

"HELLLLLAAAAAW GUE TADI KAN BILANG KALO UDAH SAMPE PATUNG KUDA KASIH TAHU!" Kalimat yang menggantung di tenggorokan saya itu tergambar dari ketatnya bibir saya yang tertutup rapat menutupi gigi.

"Ya udah, dek, turun di sini aja! Nyebrang terus naik bus yang sama arah sebaliknya, deket kok gak usah bayar!" Ujarnya.

"Oke!" Sayapun bergegas turun dan menyeberang untuk menunggu bus yang sama.

Tak lama mikrolet dengan jalur sama datang dan sayapun naik. Saya duduk di kursi belakang setelah sebelumnya meminta pada kondektur bahwa saya mau turun di patung kuda.

"Patung kuda ya Bang!" ucapku.
"Iya, ongkosnya dek!" Pintanya.

Bodohnya saya percaya pada kondektur tadi kalau saya tak perlu membayar untuk numpang menuju Patung Kuda.

"Hellllow ini Jekardah Meeeen! mana ada yang gerates!" Kutukku dalam hati.

Oke saya keluarkan uang receh di saku saya dan menyodorkan uang seribu rupah untuk membayar.

"Dekat ini!" Pikirku.

"Settt Dah!!! Serebu!" Kelakar Sang Kondektur yang tampak terkejut dengan wajah nyinyir. Sontak semua penumpang menoleh ke arah kami.
"Parkir aja sekarang dua rebu! Serebu lagi dek!" Tambahnya.
"SOMPLAK!!! Biase ajeeee!!!" Batin saya menggerutu.

Saya tak menghiraukan tanpa ada apapun rasa selain malu, males dan gondok serta sedikit rasa teraniaya oleh kekejaman Ibu Kota. Tak lama waktu berselang, Kondektur mengetuk - ngetuk kaca bus dengan uang recehnya.

"Patung Kuda! Patung Kuda!" Teriaknya memberi petunjuk untuk saya turun.
"Kiri Bang!" Teriak saya.

Mikrolet berhenti di sisi jalan, saya melihat ada Anjar yang sedang menunggu saya di trotoar, namun saat saya mengedarkan pandangan saya, sejauh mata memandang saya tak mendapati patung kuda yang dimaksud hingga akhirnya saya bertanya pada Anjar.

"Patung kudanya sebelah mana?" Tanya saya penasaran.
"Tuh!" Tunjuknya ke seberang jalan. Tepat ke arah patung kuda yang sedang berpose bak kuda yang terpampang di bungkus rokok Must*ng yang terletak di pinggir jalan, atau lebih tepatnya di area trotoar di depan sebuah ruko.

"BANGKEEEE!!!! Segitu doang?" Umpat saya dalam hati.

Pesan moral yang saya dapatkan dari pengalaman saya saat itu sangat berarti dan sangat membantu saya untuk menarik kesimpulan dan hidup bersama dengan prinsip itu.

EXPECT NOTHING
-ME-



Rabu, 02 Maret 2016

Semua-mu dan Semua-nya

Ketika kau pikir semua berpaling darimu...
Ketika kau berpikir semua menjauh darimu...
Yang kau panggil "semua" adalah apa yang kau gilai,
Yang kau panggil "semua" adalah siapa yang kau cintai,
Yang kau panggil "semua" adalah yang kau damba.

Namun kau tak sadar,
Bahwa ada yang menyebutmu sebagai bagian dari "semua"-nya,
Bagian dari SEGALA-nya.
Ada, di sana di sisi ruang yang tak pernah kau tatap,
Tak sudi kau berpaling untuk sekedar melihatnya
Tak sudi kau meluangkan waktu untuk sekedar menyapanya.
Dia,
Seseorang yang menggilaimu,
Seseorang yang mencintaimu,
Seseorang yang mendambakanmu.

Selasa, 01 Maret 2016

Uniqly Family : Kisah Tauladan dari Kak Irine (Sang Bapak)

Keluarga. Saya sangat senang mendengarkan kawan atau siapapun bercerita tentang kehidupan keluarga, apa lagi kalau itu kisah lucu. EITS!!! BUKAN UNTUK MENERTAWAKAN! Tentu saja, bukan. Karena sebenarnya dari kisah lucu dan unik itu saya malah bisa belajar sesuatu.

Perbincangan Bermula.

Dengan mata sipit dan wajah seperti orang Jepang itu dia duduk. Kini tubuhnya sedikit tampak padat, tapi sama sekali tak menghilangkan setiap kesan yang saya kagumi dulu dari Kakak Kelas yang sebenarnya seumuran denganku itu. Aku hanya duduk di kursi plastik di kamar penginapan, sedangkan tergeletak santai di atas kasur sahabatku Jemi. Di kursi lain ada partner saya Djuma.

"Kalau aku, mungkin kita kalau certita tentang masa sulit dulu kan pasti ketawa kan?" Dia berkisah dengan logat jawanya yang sedikit hilang.
"Iya kejadian miris kayak kita misal uang saku lima ribu semingu dan seterusnya." Tambahnya.
"Iye, he ehm." Jawab kami.
"Kalau kita cerita sama teman pasti kan ketawa ya? Karena jadi lucu." Terangnya.
"Tapi, aku punya teman memang sejak kecil udah kaya jadi pas kita cerita begitu kita udah heboh ketawa eh dia cuma bilang 'kok aku gak gitu ya, gak gini ya.' Gitu." Dan sebuah kisah lucu dan bermaknapun bermula dari prologue tersebut.

Cara Seorang Ayah Mencintai dan Melindungi Anaknya.

Googling for Father Photograph

Aku masih melihatnya sebagai seniorku dulu di salah satu kegiatan ekstrakulikuler, dia memang gemar bercerita dan gemar berbagi dan hal yang paling membuatku nyaman sejak dulu adalah karena dia selalu mau mendengarkan ketika siapapun berbicara, itulah kenapa aku tak jengah mendengarkan dia bercerita, karena aku hanya akan jengah mendengarkan cerita dari seseorang yang tak mau mendengarkan orang lain bercerita.

"Bapkku tuh dulu Unik kok memang." Ceritanya. Kami masih mendengarkan.
"Ada satu kejadian waktu dulu aku STM." Tambahnya.
"Dia kan Bapakku nganterin aku ke halte Bus deket rumah." Kisahnya.
"Dan kalian tahu apa?" Seperti dulu, dia masih bisa menyisipkan drama di setiap kisahnya.
"Waktu aku naik, Bapakku teriak ke keneknya." Jawabnya mengabaikan kami yang masih diam mendengarkan.
"Pak ati-ati kui wonge rodo edan!" (Pak hati-hati itu orangnya agak gila!) Kelakarnya menirukan Sang Ayah yang meneriakinya saat itu.

Kami tertawa mendengar kisahnya, tak terkecuali dia.

"Memang unik kok Bapakku tuh!" Hanya itu yang keluar dari bibirnya di sela - sela senyum gelinya.

Pesan Yang Saya Dapat...

Lucu? Memang. Tapi, ada yang lebih dari sekedar lucu yang kami dapatkan.

"Oh berarti itu adalah cara Bapakmu menjagamu kak!" Simpulku.
"Iya jadi kan dia sebenarnya mau melarang kamu buat pacaran dan takut kamu digodain. Jadi Bapak kamu teriakin begitu biar semua orang di Bus dengar dan gak ada yang mau dekat sama kamu!" Timpal Jemi menerangkan.
"Iya biar pada mikir dua kali kalo mau deketin!" Sambar Kak Irine.

Aku jadi teringat perbincanganku dengan Djuma beberapa waktu lalu yang berujung pada sebuah kesimpulan.

Cara seorang Ayah untuk menunjukkan kasih sayang untuk anaknya itu berbeda.
Dia menujukannya dengan cara yang unik.
Diamnya adalah rasa takut kehilangan yang dia pendam.
Dia tak pernah mengeluh dan tak pernah berbicara apapun tentang rasa takutnya.
Karena dia khawatir orang - orang yang dia cintai berpikir
bahwa mereka mempercayakan hidup mereka pada orang yang salah.
Ego Ayah adalah melindungi, mengayomi dan menjaga.
 Hargai dan pahamilah dia, Ayahmu.
-Us-

Bangka Belitung : Hari Terakhir di Bangka

22 Februari 2016 : Check Out

Pagi - pagi sekali kami sudah bangun dan bersiap sambil kembali memeriksa barang masing - masing supaya tidak ada yang ketinggalan.

Sebenarnya pesawat yang akan mengantar kami ke Jakarta dijadwalkan berangkat pukul 6.00 pm tapi kami memang sengaja untuk check out sejak pagi dan menitipkan barang kami di kos Mas Taat dan melanjutkan wisata kami yang terakhir.

Pantai Parai Tenggiri

Setelah menitipkan barang, kami berangkat menuju pantai Parai Tenggiri. Perjalanan kami sedikit terhambat oleh datangnya hujan dan juga ban motor bocor. Kamipun sempat mampir untuk minum kopi di Tung Tau beberapa saat sebelum akhirnya kami lanjutkan perjalanan.

Tung Tau

Sekitar jam sepuluh kami sampai di kawasan pantai tikus dan tak berapa lama kami sampai Marina Bay Hotel yang memang berada di sekitar pantai, namun meski begitu pengunjung lokal tetap bisa masuk dengan membayar 25.000 per orang untuk masuk ke sana.

Dengan ditemani hembusan angin yang kencang dan suasana mendung menutupi langit kami menikmati sajian alam yang Tuhan anugerahkan.












 


selfie

Kuil Tri Agung (Akhir Destinasi).

Karena tak ingin terlambat sampai Bandara, kami tak bisa berlama - lama bersantai di Parai Tenggiri, kami bergegas melanjutkan oerjalanan kami karena langit sepertinya akan kembali menjatuhkan bulir - bulir air.

Kami pacu motor menuju Kuil Tri Agung yang terletak di atas bukit dengan pemandangan laut yang begitu memukau.

Masih tergambar suasana Imlek saat kami sampai di Kuil, pemandangannya memuaskan terlebih dengan tiba - tiba langit berangsur cerah. Seperti biasa kamipun asik berswa foto.








Sayonara. Sampai Berjuma Lagi di Bangka Belitung.

Kami sampai di kos Mas Taat sekitar pukul 3.00 pm tepat, tidak kurang dan tidak lebih. Taksi yang menjemput kamipun datang skitar pukul 3.30 pm untuk mengantar kami menuju Depati Amir.

Lagi - lagi saya merasa enggan untuk pulang. Namun mungkin inilah cara Tuhan supaya saya terus merindukan keindahannya.

Tuhan Sangat Pandai Membuatku Jatuh Cinta
-ME-



Bangka Belitung : Hari Ke Tiga Dan Hari Pertama di Bangka

20 Februari 2016 : Tanah Bangka


Depati Amir
Perjalanan ke-dua kami lanjutkan menuju Bangka dengan menaiki pesawat dari Tanjung Pandan menuju Pangkal Pinang. Kali ini di Bangka kami pun akan bertemu dengan senior kami yang bernama Kak Irine dan kalau sempat bertemu dengan Mas Taat.

Sekitar pukul 11.00 am Sriwijaya Nam Air mendarat di Tanah Bangka. Setelah sempat menelpon taksi sesuai petunjuk Kak Irine kami akhirnya sampai di penginapan yang telah Kak Irine bantu persiapkan, yaitundi depan YPAC.

"Ya udah kalian istirahat dulu, nanti sore kita jalan. Semoga cuaca mendukung." Pamitnya setelah satu motor sewaan untuk kami datang.

Saya pribadi tak khawatir dengan cuaca, karena bila melihat situasi langit saat itu nampaknya sangat mendukung.

Namun tepat jam 2.00 pm waktu di mana awalnya Kak Irine berencana mengajak kami jalan, ternyata cuaca malah berubah drastis. Hujanpun turun deras disertai angin namun beruntung tak datang bersama petir.

Pantai Tanjung Bunga

Sekitar pukul 3.30 pm hujan reda namun cuaca masih mendung. Tak kami sangka Kak Irine tetap datang menjemput kami dengan motornya.

Sebenarnya kami tak enak harus merepotka dia tapi kami juga tak tahu menahu tentang jalanan dan rute di Bangka. Jadi ya enak gak enak dienakin aja.

Singkat cerita akhirnya kami berangkat dengan dua motor menuju Tanjung Bunga. Sebelumnya dia sudah mengingatkan pada kami bahwa biasanya kalau dalam keadaan hujan air di pantai akan kotor karena kapal penambang timah sudah mendekati pesisir.

Sekitar 25 smapai 30 menit dari Pangkal Pinang kami akhirnya sampai di Tanjung Bunga. Dan benar saja, air lautnya yang surut cukup jauh memang kotor ditambah pemandangan kapal kapal keruk di tengah laut semkin membuat saya merasa miris.

Abaikan Makhluk di Belakang sana.

Saya dan Kak Irine

Saya tak mengabadikan pemandangan pantai itu lebih banyak, ya karena sebanranya tidak tega saja memperlihatkan apa yang saya lihat saat itu, karena waktu dan kondisinya yang kurang tepat.

Otak-otak dan hujan

Menjelang Maghriba, kami beranjak untuk pulang. Cukuplah untuk hari ini, saya pikir. Kami menuju kembalinke pangkal pinang dan mampir sebentar untuk Shalat Maghrib di Masjid Jami Pangkal Pinang.

Masjid Jami Pangkal Pinang
Setelah shalat Maghrib, kami kembali melanjutkan perjalanan ditemani rintik gerimis menuju sebuah kios restauran yang menjual beraneka ragam otak - otak di Otak - otak Amui yang berlokasi di Kampung Bintang, namun sayang saking terlenanya dengan kelezatan berbagai macam otak - otak saya sampai lupa mengabadikan tempat dan menu yang tersaji.

Dan Kamipun beristirahat di Malam Bangka.

Manusia Berencana,
Namun Tuhan Punya Cara Lain
Untuk Kebahagiann Umatnya
-ME-

Bangka Belitung : Hari Ke-2 Dan Terakhir di Bumi Laskar Pelangi (Belitung Timur)

19 Februari 2016 : Bendungan Pice




Setelah semalam kami bertemu dengan satu lagi kakak senior kami yan merupakan murid satu jurusan dan satu angkatan dengan Mbak Ang, namanya Mbak Evi. Wow ternyata seperti kembali lagi ke STM pikirku senang.


Kami yang terserang lelah dan mulai merasakan efek terbakar cahaya matahari, terbangun sekitar jam 10.30 am. kami bangun dan kembali berpetualang menelusuri dan menjamah daerah Belitong Timur.
Tujuan pertama kami, adalah Bendungan Pice.


"Mbak ada buayanya juga gak?" Pertanyaan pertamaku pagi itu.
"Banyak dek!" Jawab Mbak Ang santai.
"Banyak lah dek." Dengan tenaang Mbak Evi ikut meniyakan.
Hmmm. Tapi sudahlah, yang penting kami tak macam - macam.



SD Muhammadiyah Gantong

Usai berpanas - panasan di Bendungan Pice, kami dibawa menuju Replika SD Muhammadiyah Gantong, tempat shooting film Laskar Pelangi. Panas terik Matahari tak menjadi penghalang bagi kami. Kami tetap menikmatinya. Oh iya ini satu - satunya tempat wisata yang kami kunjungi dan dipungut biaya, itu saja hanya sebesar Rp 3.000,- per orang.






Museum Kata Andrea Hirata

Ke Belintong, tidak afdhol rasanya kalau tak berkunjung ke Museum satu ini. Yap! Museum Kata Andrea Hirata. Hmmm warna dan seluruh isinya membuat saya terkagum - kagum.















Selepas itu kami melanjutkan perjalanan dan melewati Kampung Ahok menuju destinasi selanjutnya.

Pantai Burong Mandi

Burong Mandi


Lagi - lagi pantai indah menjadi suguhan yang memanjakan mata kami. Kali ini Pantai Tambak menjadi tujuan kami. Pantai satu ini berbeda dengan pantai - pantai di hari pertama yang sebagian besar dihuni oleh bebatuan besar, namun pantai kali ini menyuguhkan luasnya cakrawala dengan hiasan pesisir putih dan birunya laut yang seolah menyatu dengan birunya langit.


Kelenteng Kwan Im


Setelah puas beristirahat dan mengambil foto di Pantai Burong Mandi, kami kembali melanjutkan perjalanan kami ke Kuil Kwan Im.

Mirrored


Nyiur Melambai

Ingat lagu nasional "Rayuan Pulau Kelapa"?  Pasti tahu dong lirik dalam lagi itu! Begini kalimatnya,


Melambai-lambai Nyiur di Pantai

Nah ternyata dan saya baru tahu kalau Nyiur Melambai adalah sebuah nama pantai di daerah Belitong Timur. Dan ketika kami datang yang memang sudah petang saat itu, ternyata air di Pantai Nyiur Melambai juga sedang surut.




Pantai Serdang

Nah, menenati senja kami berpindah menuju ke pantai selanjutnya, yaitu Pantai Serdang. Di Pantai Serdang air tidak tampak terlalu surut, namun kami melihat beberapa nelayan lokal yang ternyata memang kata Mbak Ang merupakan penduduk asli sekitar baru kembali dari berlayar. Kami menyaksikan beberapa anak pantai yang membantu nelayan menepikan perahu mereka yang berwarna - warni sambil beberapa ada yang membawa timbangan untuk menimbang hasil tangkapan para nelayan.





Karaoke

Namun kami tak menunggu hingga sang mentari terbit, kami yang memang merasa cukup puas dan lelah dengan perjalanan dua hari ini merasa bahwa kami butuh istirahat sebelum akhirnya kami kembali menuju destinasi selanjutnya, yaitu pulau Bangka.

Namun katanya, kalau sampai Belitong tidak mencoba kopi di daerah Manggar katanya kurang afdhol. Jadilah kami mampir sebentar di sebuah warung kopi bernama Millenium untuk menikmati cita rasa kop Belitong.

Manggar yang terkenal dengan Kopi "O" nya

Setelah mandi dan beristirahat sejenak, kami kembali di ajak olek Mbak Ang untuk menutup hari di Belitong dengan berkaraoke ria di sebuah rumah karaoke.

Penutupan

Yang terpenting dari sebuah perjalanana,
bukan berapa besar nominal yang tertera di dalam lembaran kertas di saku.
Namun seberapa besar rasa syukur yang kita curahkan
atas anugerah kebahagiaan yang telah Tuhan berikan.
-ME-