Rabu, 24 Februari 2016

Uniqly Family : Sothil Bi... Sothil!

Keluarga adalah dunia kecil yang selalu menjadi tempat setiap manusia bernaung. Dunia di mana sebuah pelajaran dan kehidupan bermula. Dan terkadang keluarga adalah panggung Ludruk yang sempurna dalam kehidupan.

Keluarga kecil kami berpindah ke Jogja sekitar tahun 1999, saat saya masuk kelas dua Sekolah Dasar. Sebenarnya bukan keluarga kecil sih, karena ada Adik Mamah yang ikut, namanya Bi Upen, dia bibi tersayangku yang selalu menjadi sahabat bagi saya. Bahkan saya pribadi menganggap dia sebagai kakak perempuan saya.

Tounge Invasion...

Anda yang merantau, pasti tahu bagaimana penderitaan dan susahnya menyesuaikan diri dengan kehidupan di perantauan, apa lagi urusan komunikasi. Kami yang berdarah sunda jelas agak kesusahan untuk mengubah aksen sunda  menjadi jawa medhok. Tapi tidak bagi saya yang kebetulan masih kecil dan memang katanya anak kecil lebih cepat menyesuaikan.

Hanya saja masalah terjadi di orang tua, kakak dan bibi saya. Mereka berusaha mati - matian untuk menyesuaikan diri dalam segi percakapan, namun orang tua saya akhirnya mengambil jalan pintar untuk berhenti dan menggunakan Bahasa Nasional saja, di ikuti kakak saya yang juga mulai mencampur bahasa Jawa dan Indonesia. Namun berbeda dengan Bibi saya yang tercinta, dia tekun berusaha mengikuti aksen jawa (FYI sekarang dia berhasil menjadi perempuan jawa dengan aksen super Medhok bahkan bahas Sunda saja dia Medhok) terlebih dia berpacaran dengan orang asli Jogja.

Sebuah Cerita Terjadi Saat...

Source :
google.com
sothil


Tak lama dia berpacaran akhirnya Bibi menikah dengan sang kekasih. Dia hidup bersama keluarga Sang Suami namun masih sering mengunjungi kami.

Ada satu kejadian yang dia ceritakan saat itu pada kami. Kejadian saat dia dan sang ibu mertua sedang memasak.

"Bibi kan nuju mantuan masak Nde!" (Bibi kan lagi bantuin masak ya Nde (Panggilan saya di keluarga) Kisahnya bermula.
"Terus Bibi bade ngakeul sangu!" (Terus Bibi mau ngadukin nasinya) Tambahnya antusias.
"Kan bibi teu terang di mana cukil na!" (Kan bibi gak tau di mana centong nasinya) Dia tetap bercerita saat saya masih diam menunggu Gong dari ceritanya.
"Tah bibi teh naros ka Emak, nganggo bahasa Jawa kan sakalian latihan ameh lancar." (Nah bibi tanya ke Emak, pakai bahasa Jawa kan sekalian latihan biar lancar)
"Terus bibi narosna kumaha?" (Terus bibi nanyanya gimana?) Akhirnya aku bersuara.
"Kieu Yeuh!" (Gini nih!)

"Bu sega ne tak udhak yo!" (Bu nasinya aku aduk ya.) Ujarnya.
"Iyo." jawab sang ibu mertua singkat.

Bermaksud mengaduk nasi, Bi Upen bingung mencari centong nasi. Alhasil diapun bertanya.

"Bu, lah Ithile neng endhi?" (Bu, loh it*** nya di mana?) Teriaknya pede.
"Apane Pen?" (Apanya Pen?) Tanya Sang Ibu Mertua memastikan.
"Ithil bu." Jawabnya lagi.
"Iku loh bu, Ithil nggo ngudhak segane!" (Itu loh bu, It*** buat ngaduk nasinya!) Terangnya.
"Kui jenenge sothil Pen, udhu Ithil!" (Itu namanya Sothil pen bukan It***) Sambar kakak iparnya.
"Nak ithil ki kui! Hahahahahha!" (Kalau it*** tuh itu! Hahahaha!) Tambahnya sambil menunjuk ke salah satu area di tubuh Bi Upen.

"Bahahahhahaha!" Saya terbahak tak bisa menahan geli. Hancur sudah pamornya di mata Sang Mertua.

Memang bahasa adalah senjata yang sangat ampuh untuk menjalin sebuah hubungan.
Bibiku sayang bibiku malang.

Salam Sayang dari keponakanmu tercinta
Ende

Tidak ada komentar:

Posting Komentar